medioBola – Perkembangan sepak bola China menjadi sorotan sejak Presiden Xi Jinping mengumumkan target ambisius pada tahun 2015. Xi Jinping menegaskan keinginannya menjadikan China sebagai salah satu kekuatan sepak bola dunia pada tahun 2050. Kini, sepuluh tahun setelah pernyataan itu, banyak pihak bertanya-tanya sejauh mana perkembangan sepak bola China telah mencapai tujuan tersebut.
Xi Jinping memiliki target besar, di antaranya menjadikan tim nasional China kompetitif di ajang Piala Dunia dan menjadi salah satu tim terbaik di Asia pada 2030. Namun, realita saat ini menunjukkan bahwa China masih jauh dari tujuan itu. Peringkat FIFA China bahkan menurun dari posisi 81 pada 2016 menjadi 90 pada 2025. Hal ini tentu mengecewakan, mengingat antusiasme dan investasi besar yang telah dilakukan pemerintah China dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun mengalami kesulitan di level internasional, ada beberapa aspek positif yang menonjol dalam perkembangan sepak bola China. Salah satunya adalah peningkatan signifikan jumlah lapangan sepak bola di seluruh negeri. Proyek komunitas sepak bola yang dijalankan sejak 2016 telah berhasil menjangkau jutaan pemuda China, menyediakan fasilitas yang memadai untuk bermain sepak bola secara teratur. Lapangan sepak bola kini mudah ditemukan di berbagai kota dan daerah, yang diharapkan bisa menjadi fondasi kuat bagi generasi mendatang.
Namun, meskipun fasilitas sudah tersedia, perkembangan sepak bola China masih menghadapi tantangan besar terkait budaya dan persepsi masyarakat terhadap olahraga ini. Sepak bola belum sepenuhnya diterima sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari seperti di Eropa atau Amerika Selatan. Hal ini diperparah oleh skandal korupsi yang terus melanda sepak bola China, yang mengurangi kepercayaan masyarakat dan orang tua untuk terlibat aktif dalam pembinaan sepak bola usia muda.
Contoh nyata yang mengguncang persepsi publik adalah kasus Li Tie, mantan pelatih timnas China yang dihukum 20 tahun penjara akibat kasus pengaturan skor dan korupsi pada Desember 2024. Kejadian ini, bersama dengan kekalahan telak 0-7 dari Jepang dalam kualifikasi Piala Dunia, menjadi pukulan besar bagi citra sepak bola di negara tersebut. Publik China pun semakin skeptis terhadap perkembangan sepak bola nasional mereka.
Selain itu, karakteristik budaya dan sistem pendidikan China turut menjadi hambatan dalam pengembangan sepak bola yang menuntut kreativitas, kerja sama tim, dan fleksibilitas dalam mengambil keputusan di lapangan. Menurut David Sproer, mantan pelatih sepak bola yang pernah bekerja di Shanghai, anak-anak di China cenderung dididik dengan konsep jawaban “benar dan salah,” berbeda dengan olahraga seperti sepak bola yang membutuhkan kreativitas dan spontanitas.
Dampak lain dari perkembangan sepak bola China adalah investasi besar-besaran yang dilakukan pengusaha China ke klub-klub sepak bola di Eropa. Beberapa tahun lalu, investasi ini sangat masif, dengan klub-klub China juga membeli pemain bintang seperti Oscar dan Hulk dengan nilai fantastis. Sayangnya, banyak investasi ini akhirnya berujung pada kerugian finansial besar, seperti yang dialami klub besar Guangzhou Evergrande yang bangkrut karena terlilit utang besar.
Namun, beberapa pihak tetap optimis bahwa perkembangan sepak bola China bisa mencapai target jangka panjang yang telah ditetapkan. Meskipun hasil timnas senior masih mengecewakan, beberapa kemajuan terlihat dalam kategori usia muda. Prestasi di kompetisi internasional junior mulai menunjukkan harapan bahwa generasi baru China mampu membawa perubahan besar di masa depan.
Secara keseluruhan, perkembangan sepak bola China dalam sepuluh tahun terakhir memang penuh tantangan. Meskipun masih jauh dari tujuan awal, berbagai upaya terus dilakukan, terutama dalam membangun infrastruktur dan pembinaan usia muda. Dengan konsistensi dan komitmen kuat dari pemerintah serta dukungan masyarakat, ambisi besar Xi Jinping bukan mustahil untuk tercapai di masa mendatang.